29.3.12

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIG SISTEM CAIRAN DAN IMUN


A.    Enzyme linked immunasorbent

ELISA digunakan untuk menemukan antibodi. Dalam hal ini antigen mula-mula diikat benda padat kemudian ditambah antobodi yang akan dicari. Setelah itu ditambahkan lagi antigen yang berdana enzim, seperti peroksidase dan fosfatase. Akhirnya ditambahkan substat kromogenik yang bila bereaksi dengan enzim dapat menimbulakan perubahan warna. Perubalian warna yang terjadi sesuai dengan jumlah enzim yang diikat dan sesuai pula dengan kadar antobodi yang dicari. Bandingkan dengan RIA, maka pada uji ELISA digunakan reagens yang lebih stabil, terapi kurang sensitif.

B.     Riwayat Penyakit

Penyakit alergi merupakan kumpulan penyakit yang sering dijumpai di masyarakat. Diperkirakan 10-20% penduduk pernah atau sedang menderita penyakit tersebut. Alergi dapat menyerang setiap organ tubuh, tetapi organ yang serang terkena adalah saluran napas, kulit, dan saluran pencernaan. Samsulridjal dkk melaporkan penyakit alergi yang sering dijumpai di Bagian Penyakit Dalam RSCM Jakarta adalah asma, rinitis, urtikaria, dan alergi makanan. Di Medan, Tanjung A melaporkan bahwa manifestasi klinis pasien alergi saluran napas adalah rinitis 41,9%, asma 30,6%, asma dan rinitis 25%, serta batuk kronik 5%.
Agar penanganan pasien alergi lebih tepat dan terarah, diperlukan diagnosis tepat dan cepat supaya komplikasi dapat dihindari. Bila seorang pasien yang dataiig dengan kecurigaan menderita penyakit alergi, langkah pertama harus ditentukan terlebih dahulu apakah pasien memang menderita alergi. Selanjutnya harus dilakukan pemeriksaan-perneriksaan dalam rangka mencari alergen penyebab, selain juga faktor-faktor non alergik yang mempengaruhi timbulnya gejala.
1.       Riwayat Penyakit
Pada anamnesis umumnya ditanyakan hal-hal seperti berikut:
a.       Kapan gejala timbul dan apakah mulainya mendadak ntan berangsur. Umur permulaan timbulnya gejala dapat menuntun kita untuk membedakan apakah kondisi tersebut diperantarai IgE atau tidak. Sebagai contoh, lebih dan 90%, pasien dengan gejala rinitis yang sudah muncul sebelum umur 10 tahun menunjukkan tes kulit yang positif, sedangkan pada pasien yang gejalanya timbul sesudah 40 tahun kurang dan 40% yang menunjukkan sensitivitas terhadap alergen.
b.      Karakter, lama, frekuensi dan beratnya gejala. Urtikaria akut lebih mungkin disebabkan oleh alergen dibandingkan Urtikaria yang kronik. Frekuensi dan beratnya gejala diperlukan untuk menentukan apakah diperlukan pengobatan terus-menerus atau hanya saat timbulnya gejala.
c.       Saat timbulnya gejala. Apakah keluhan paling hebat di waktu pagi, siang, malam, atau tidak menentu. Alergi dapat intermiten, setiap tahun, atau berhubungan dengan musim. Di Indonesia, karena tidak ada muslin gugur, semi, atau panas, keluhan lebih banyak menetap sepanjang tahun. Gejala yang menetap sepanjang tahun biasanya dihubungkan dengan aeroalergen seperti tungau, debu rumah, kecoa, jamur, atau serpihan kulit binatang peliharaan.
d.      Pekerjaan dan hobi. Keluhan pasien dapat saja timbul saat berada di rumah, di sekolah, atau di tempat kerja. Sekitar 5% kasus asma berhubungan dengan tempat kerja. Demikian juga dengan kejadian pajanan lateks, binatang percobaan, atau produk kimia di tempat kerja.
e.       Bagaimana perjalanan penyakit dari permulaan sampai sekarang, apakah bertambah baik, tidak berubah, atau bertambah berat. Bagaimana pengaruh pengobatan sebelumnya.
f.       Adakah jangka waktu paling lama tanpa serangan, bilamana dan di mana.
g.      Apakah timbul keluhan setelah mengeluarkan tenaga.
h.      Faktor-faktor yang mempengaruhi serangan penting ditanyakan dalam rangka penanganan pasien, misalnya faktor musim, faktor tempat, faktor hewan, faktor kelelahan, kurang tidur, pergantian cuaca, hawa dingin, debu, makanan, obat, emosi, kehamilan, asap, bau-bauan, dan lain-lain.
i.        Kebiasaan merokok, dan berapa batang sehari.
j.        Dalam usaha mencari alergen, hubungan antara gejala alergi dengan waktu dan tempat sangat penting. Dengan mengenal timbulnya gejala pada waktu tertentu, kecurigaan akan penyakit alergi lebih dipertegas. Begitu juga halnya dengan faktor tempat. Dalam hal ini kita harus mempunyai pengetahuan dengan alergen sekeliling pasien. Untuk itu yang ditanyakan adalah lentang:
1)      Keadaan rumah, apakah sudah tua, masih baru, dan kelembabannya
2)     Kamar tidur, karena di tempat ini banyak dijumpai D. pteronyssinus
3)     Keadaan sekeliling pasien, apakah banyak hewan peliharaan Seperti anjing, kucing, burung, dan sebagainya
k.      Pada pasien asma atau alergi saluran lain ditanyakan juga tentang dahak: jumlahnya (banyak, sedang, sedikit), warnanya (putih, kuning, hijau), kekentalan (encer, kental).
l.        Pengaruh terhadap kualitas hidup. Apakah kelainan tersebut mempengaruhi pekerjaan, absensi sekolah, mengganggu aktivitas olahraga atau hobi lainnya, atau mengganggu tidur.
m.    Perlu juga ditanyakan riwayat alergi pada keluarga, apakah ada keluarga sedarah yang menderita asma, rinitis, eksim, alergi makanan, atau alergi obat.
2.       Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis yang lengkap harus dibuat, dengan perhatian ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva, nasofaring, dan paru. Kulau seseorang datang dengan keluhan hidung, maka perhatian lebih lanjut ditujukan lagi terhadap pemeriksaan hidung dan kerongkongan, baik dari luar maupun dari dalam rongga hidung.
3.       Kulit
Seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada peradangan kronik seperti ekskoriasi, bekas garukan terutama daerah pipi atau lipatan-lipatan kulit daerah fleksor. Kelainan ini mungkin tidak dikeluhkan pasien, karena dianggap tidak mengganggu ataupun tidak ada hubungan dengan penyakitnya Lihat pula apakah terdapat lesi iirtikiiiiu, unyi(K’Jemu, dermatitis, dan likenifikasi.)
4.       Mata
Diperiksa terhadap hiperemia konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan dan katarak yang sering dihubungkan dengan penyakit atopi, dan kadangkala disebabkan pengobatan kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka lama. Pada rinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak
5.       Telinga
Telinga tengah dapat merupakan penyulit penyakit alergi saluran napas, perlu dilakukan pemeriksaan membran timpani untuk mencari otitis media. Demikian juga dengan sinus paranasal berupa sinusitis yang dapat diperiksa secara palpasi dan tiansiluminasi.
6.       Hidung
Pada pemeriksaan hidung bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda yang sudah baku, walaupun tidak patognomonik, misalnya: allergic, salute, yaitu pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok ujung hialangnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan; allergic crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies, terdiri dari pernapasan mulut, allergic sinners, dan kelainan gigi-geligi.
Bagian dalam hidung diperiksa dengan menggunakan spekulum hidung dengan bantuan senter untuk menilai warna mukosa, jumlah dan bentuk sekret, edema, polip hidung, dan abnormalitas anatomi seperti deviasi septum.
7.       Mulut dan Orofaring
Pemeriksaan ditujukan untuk menilai eritema, edema, hipertrofi tonsil, pusat nasal drip, Pada rinitis alergi, sering terlihat mukosa orofaring kemerahan, edema, atau keduanya. Oral trush juga perlu diperhatikan pada pasien yang menggunakah kortikosteroid inhalasi. Palatum yang cekung ke dalam, dagu yang kecil, serta tulang maksila yang menonjol kadang disebabkan oleh penyakit alergi yang kronik.
8.       Dada
Diperiksa secara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, baik terhadap organ paru maupun jantung. Pada waktu serangan asma kelainan dapat berupa hiperinflasi, penggunaan otot bantu pernapasan dan mengi, sedangkan dalam keadaan normal mungkin tidak ditemukan kelainan.
9.       Pemeriksaan Lain
Jangan lupa memeriksa tekanan darahnya, karena tekanan sistolik yang rendah (90-110 mmHg) sering dijumpai pada penyakit alergi. Pada pengguna kortikosteroid perlu dinilai striae, obesitas, miopati, hipertensi, dan efek samping kortikosteroid lainnya.
10.   Pemeriksaan Laboratory
Pemeriksnan laboratorium hanya memperkuat dugaan adanya penyakit alergi, jadi tidak untuk menetapkan diagnosis. Selain itu, pemeriksaan laboratorium juga dipakai untuk pemantauan pasien, misalnya untuk menilai timbulnya penyulit penyakit dan hasil pengobatan.
11.   Jumlah Leukosit dan Hitung Jenis Sel
Pada penyakit alergi jumlah leukosit normal, kecuali kalau disertai infeksi. Eosinofilia sering, dijumpai tetapi tidak spesifik, sehingga dapat dikatakan eosinofilia tidak identik dengan alergi. Pada penyakit alergi, eosinofilia berkisar antara 5-15% beberapa hari setelah pajanan alergen, tetapi pada pasien dcngan pengobatan kortikosteroid dapat timbul eosinopenia. Eosinopenia merupakan petanda hipersensitivas dari beratnya hipertensitas tersebut. Selain itu harus diperkirakan penyakit lain, misalnya infeksi parasit, keganasan, imunodefisiensi, akibat radioterapi, penyakit jantung bawaan dan lain-lain. Sel eosinofil normal untuk dewasa 0-450 sel/min.
12.   Sel Eosinofil pada Sekret Konjungtiva, Hidung dan Sputum
Semasa periode simtomatik sel cosinoni banyak dalam sekret, tetapi kalau ada infeksi, sel neutrofil yang lebih dominan.

13.   Serum IgE Total
Meningkutnya serum IgE total menyokong adanya penyakit alergi, tetapi sayang hanya didapatkan pada sekitar 60-80% pasien. Sebaliknya peningkatan kadar IgE total ini juga dijumpai pada penyakit lain misalnya infeksi parasit, sorosi hati, monokleosis, penyakit autoimun, limfoma, HIV dan lain-lain. Oleh karena itu pemeriksaan serum Ig E total saat ini mulai ditinggalkan, kecuali pada: a) ramalan alergi pada anak yang orang tuanya menderita penyakit alergi, b) ramalan alergi padu anak dengan bronkiolitis,  c) Membedakan asma dan rinitis alergik dengtin non alergik,                                    d), membedakan dramanitis atopik dengan dermatitis lainnya, e) Diagnosis dan pengolahan selanjutnya aspergilosis bronkopulmoner alergik.
14.   IgE Spesifik
Dilakukan untuk mengukur IgR terhadap alergen tertentu secara in vitro dengan cara RAST (Radio Allergo Sorbent Test) atau Elisa (Enzym Linked Immuno Sorbent Assay). Keuntungan pemeriksaan IgE spesifik dibandingkan tes kulit adalah resiko pada pasien tidak ada, hasilnya kuantitatif, tidak dipengaruhi obat atau keadaan kulit, alergen lebih stabil, Sedangkan kerugiannya adalah mahal, hasil tidak segera dapat dibaca, kurang sensitif dibanding tes kulit. Untuk alergi makanan, pemeriksaan ini kurang positif dinilai berdasarkan bentol atau eritema dengan penilaian sebagai berikut:

      Hasil negatif    = sama dengan Rontrol negatif

      Hasil +1           = 25% dan kontrol positif

      Hasil +2           = 50% dari kontrol positif

      Hasil +3           = 100% dan kontrol positif

      Hasil ±4           = 200% dan kontrol positif

Harus diingat sebelum melakukan tes kulit, pasien diminta menghentikan konsumsi beberapa obat. Sebagian besar antihistamin generasi pertama harus dihitung dari minimal 72 jam sebelum tes, sedangkan untuk antihistamin generasi kedua harus dihentikan minimal satu minggu sobelumnya. Pemakaian kortikosteroid sistemik jangka singkat dosis rendah (< 20 mg prednison) dihentikan 3 hari, dosis tinggi harus dihentikan 1 minggu. Sedangkan pemakaian kortikosteroid jangka lama perlu dihentikan minimal 3 minggu sebelum dapat dilakukan tes. Untuk kortikosteroid topikal cukup dihentikan 1 hari menjelang tes. Obat lain yang juga harus dihindari adalah antidepresun trisiklik (1-2 minggu sebelum tes) dan beta adrenergik     (1 hari sebelumnya). leofilin, obat-obat simpatomimetik, dan sodium kromoglikat karena tidak menghalangi reaksi tes kulit, tidak perlu dilarang.
15.   Tes Tempel (Patch Test)
Dilakukan dengan cara menempelkan suatu bahan yang dicurigai sebagai penyebab dermatitis alergi kontak. Jika pada penempelan bahan kulit menunjukkan reaksi, mungkin pasien alergi terhadap bahan tersebut, ataupun baban atau benda lain yang mengandung unsur tersebut.
Bahan dan konsentrasi yang sering digunakan pada tes tempel adalah benzokain 5%, merkapto benzotiazol 1%, kolofoni 20%, p. fenilendiamin 1%, imida %, lidinil urea 2%, sinamik aldehid 1%, lanolin alkohol 30%, karbamiks 3%, neomisin solfat 20%, tiuran miks 1%, etilendiamin dihidroklorid 1%, epoksi resin 1%), quatemium 15,2%, p.tert butifenol formaldehid resin 1 %, merkapto mix 1 %, black nibher mix 0,6%, potasium dikronat 0,25%, balsam of Peru 25%, nikel sulfat 2,5%.
Cara melakukan tes tempel yaitu bahan-bahan yang akan dites ditaruh pada kertas saring, yang diletakkan diatas lembaran impermeabel. Kemudian ditempelkan pada kulit dengan plester. Tempat pemasangan bisa di punggung.
Pembacaan dilakukan setelah 48 jam. Sesudah plester dilepas kemudian pasien diminta menunggu selama ½-1 jam, dengan maksud menghilangkan adanya faktor tekanan pada kulit. Sebaiknya pembacaan diulangi 96 jam sesudah pemasangan tes karena reaksi alergi muncul lebih jelas sesudah 96 jam.
0          = tidak ada reaksi
+/-       = eritema ringan, meragukan
1+        = reaksi ringan (eritema dengan edema ringan)
2+        = reaksi kuat (papular eritema dengan edema)
3+        = reaksi sangat kuat (vesikel atau bula)
16.   Tes Provokasi
Tes provokasi adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara langsung kepada pasien sehingya timbul gejala, Tes ini hanya dilakukan jika terdapat kesulitan diagnosis dan ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi yang dapat dilakukan adalah tes provokasi nasal, tes provokasi bronkial, tes provokasi konjungtival, tes eliminasi dan provokasi terhadap makanan.
17.   Tes Provokasi Nasal
Pada tes ini alergen diberikan pada mukosa hidung baik dengan disemprotkan atau mengisap alergen yang kering melalui satu lubang hidung sedang lubang hidung yang lain ditutup. Tes dianggap positif bila dalam beberapa menit timbul bersin-bersin, pilek, hidung tersumbat, batuk, atau pada kasus yang beraf menjadi gejala sama. Pada pemeriksaan mukosa hidung, tampak bengkak sehingga menyumbat rongga hidung.
18.   Tes ProvoKasi Bronkial
Pasien asma umumnya mempunyai kepekaan yang berlebihan terhadap berbagai rangsangan, baik bersitat alergen maupun non alergen (kegiatan jasmani, bahan-bahan kimia, perubahan cuaca dan lain-lain). Untuk melakukan tes provokasi diperlukan alat-alat yang cukup rumit, tenaga yang berpengalaman dan sebaliknya dilakukan di rumah sakit untuk menjaga kemungkinan terjadinya penyulit (obstruksi laring, trakea atau bronkus) dapat diatasi segera.
Banyak cara untuk menimbulkan serangan asma, tetapi yang paling sering dipakai adalah tes kegiatan jasmani (exercise induced-asthma), tes inhalasi antigen, tes inhalasi metakolin dan tes inhalasi histamin.
a.       Tes kegiatan jasmani, Kegiatan jasmani dapat menimbulkan serangan asma. Sutopo dan kawan-kawan (1984) melaporkan 42% pasien asma memberikan tes kegiatan jasmani positif.
b.       Tes inhalasi antigen. Pada tes ini diperlukan alat yang dapat menyemprotkan larutan yang mengandung antigen dalam jumlah yang tetap pada setliap semprotan (dosimeter) dan besar partikelnya harus sangat kecil antara 1-3 mikron.
c.       Tes inhalasi histamin dan metakolin. Tes inhalasi histamin dan metakolin banyak dipakai untuk menentukan reaktivitas saluran napas, balikan dianjurkan sebagai salah satu kriteria diagnosis asma, karena lebih 90% pasien memberikan reaksi yang kuat terhadap tes ini.

PEMERIKSAAN-PEMERIKSAAN LAIN

1.      Spirometri, untuk menentukan obstruksi saluran napas baik beratnya maupun reversibilitasnya, serta untuk menilai hasil pengobatan asma (monitoring).
2.      Foto dada, untuk melihat komplikasi asma dan foto sinus paranasal untuk melihat komplikasi rinitis. Bila ada kecurigaan rinitis akut maupun kronik maka diperlukan pemeriksaan scanning sinus.
3.      Pemeriksaan tinja, untuk melihat cacing dan telurnya pada kasus urtikuria yang tidak bisa diterangkan, dan lain-lain.
4.      Laju endap darah normal pada penyakit atopi. Kalau laju endap darah meninggi kemungkinan disertai infeksi.
5.      Tes penglepasan histamin dan basofil
6.      Anti-tripsin alfa 1
7.      IgG, IgA, tes kompleks imun dan stimulasi limfosit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar